Dr. I Wayan Rika, Pencetak Siswa Pintar

Written by on July 2, 2013 in Khas - 1 Comment

Wayan Rikainilahbali.com, Denpasar : Bagi praktisi ataupun pengamat pendidikan di Bali bahkan nasional khususnya untuk tingkat sekolah menengah, nama I Wayan Rika tentunya tak asing lagi. Nama sosok yang satu ini, setidaknya makin melesat awal Juni 2013 saat pengumuman hasil UN SMA/SMK. Betapa tidak, melalui  tangan ‘dinginnya’, peraih gelar doktor di Universitas Negeri Malang Jawa Timur pada 2011 ini mampu mengantarkan 5 siswa-siswinya masuk dalam 10 besar peraih nilai UN tertinggi tingkat nasional. Dialah I Wayan Rika, 54, Kepala SMA Negeri 4 Denpasar, Bali.

Rika yang berpenampilan rendah hati ini boleh jadi  menjadi satu-satunya kepala sekolah (setingkat SMA) yang memegang jabatan terlama, yakni tahun ini sudah menginjak 15 tahun sejak 1998.  Dalam perjalanan kariernya, Rika tidaklah selalu mulus. Bahkan ketika tahun pertama memegang tampuk kendali sekolah yang ‘bermarkas’ di areal perumahan nasional Munang Maning Denpasar, Rika malah menuai demo dan dihujat habis-habisan oleh ratusan orang tua dan wali siswa yang menentang kebijakannya yang dinilai ‘nyleneh’, yaitu menaikkan uang SPP hingga berlipat ganda.

“Saya masih ingat di awal kebijakan saya, massa melancarkan demo besar-besaran dan menghujat,” ujar Rika mengenang kejadian di awal tahun 2000, dalam perbincangan ringan di ruang kerjanya, pertengahan Juni 2013.Pemicunya gara-gara menaikkan besaran nominal SPP yang semula Rp12 ribu melonjak menjadi Rp40 ribu. Dengan kata lain, dari sekolah yang awalnya dikenal paling murah SPP-nya, mendadak menjadi paling mahal.

Menghadapi gelombang penolakan itu, Rika tak menyerah, malah suami dari Ni Made Rai Sukerti ini tetap kukuh pada obsesinya untuk menjadikan sekolahnya maju yang penuh dengan prestasi. Saat itu salah satu program yang dia canangkan adalah persiapan mengikuti berbagai olimpiade yang tentunya memerlukan biaya cukup tinggi. Dia bertekad  menjadikan sekolah ini memiliki nilai lebih dan berkelas, ibarat tempat makan ya menjadi restoran yang bergengsi.Alhasil, orang tua siswa pun meski terpaksa akhirnya menerima setelah Rika berjanji siap mundur kalau gagal dengan program yang dia canangkan. Tapi penerimaan orang tua saat itu setengah hati terbukti sebagian dari mereka tidak rela bayar SPP. “Bayangkan, sudah tidak mau bayar SPP, mereka  menghujat lagi,” ujar ayah dua putra ini  sambil tersenyum.

Masa pembuktian pun Rika lakukan dengan serius dan kerja keras. Dan pelan  namun pasti, Ketua Pemuda Banjar Semer Kerobokan Kabupaten Badung Bali ini  mencoba membangun ‘iklim’ kultur  kebersamaan di sekolahnya. Dalam kultur yang dia ciptakan itu, Rika mengajak semua guru agar selalu siaga di sekolah sepanjang jam pelajaran sekolah, termasuk dalam kondisi tidak ada jam mengajar.

“Tidak ada guru yang baru datang ke sekolah ketika mau mengajar saja, atau pulang mendahului saat sudah tidak ada jam pelajaran. Semua guru harus tetap bersama-sama di sekolah, ada atau tidak ada jam pelajaran,” ujar Rika.

Merintis kultur seperti ini, diakui Rika tidaklah mudah. Namun pihaknya senantiasa secara terus-menerus menyosialisasikan kepada guru-guru dan pegawainya, mulai dari hal-hal kecil yang menyenangkan seperti makan bersama-sama apapun jenis makannannya. Secara perlahan akhirnya sampai sekarang kultur kebersamaan itu terbentuk sedemikian rupa di sekolah ini. Dalam keseharian, suasana sekolah cenderung ramai hingga sore, apalagi ditunjang sarana seperti kantin yang juga bisa dipakai diskusi siswa atau tempat mengerjakan tugas.

Dalam pengelolaan lembaga pendidikan, menurut Rika, tetap diperlukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Guru sebagai pengelola sekolah haruslah jeli membaca situasi sesuai perkembangan zaman yang dikaitkan dengan sistem yang diterapkan pemerintah. Dalam hal ini, kata Rika, yg perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Ada banyak faktornya, antara lain terjalinnya kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti orang tua siswa, masyarakat dan lembaga-lembaga lain.

Untuk pencapaian mutu itulah, Rika membuat program peningkatan mutu (quality improvement programme) guna meningkatkan daya saing sekolah melalui siswa baik bidang akademis maupun non akademis di berbagai tingkatan mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan internasional.

Berangkat dari pijakan ini, lantas dibuatlah klasifikasi siswa berdasarkan bakat dan minat baik akademis maupun non akademis. Untuk mengintensifkan proses pada siswa, Rika merancang kelompok-kelompok yang dia sebut klub sesuai klasifikasi bakat dan minat. Maka lahirlah bermacam klub, seperti klub matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris, astronomi, kebumian, komputer, dan bahasa asing (jepang). Untuk memaksimalkan prestasi, pihak sekolah bahkan membijaksanai guru-gurunya bila perlu untuk mengundang konsultan seperti dari kalangan dosen.  Prestasi ini diarahkan untuk merebut even-even olimpiade. Khusus klub-klub ini, guru sekolah
kadang-kadang

“Setelah diuji coba setahun hasilnya cukup bagus, siswa jadi juara baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan internasional. Ini harus terus berlanjut disertai inovasi-inovasi karena teman-teman sekolah lain juga mengejar target lebih tinggi,” ujar Rika yang juga guru bidang Biologi ini.

Selain membentuk model klub, Rika juga menerapkan sistem pengayaan dan remidi yang tujuannya sebagai persiapan bagi siswa dalam menghadapi UN. Program ini dinilai penting mengingat nilai UN mulai tahun ini diintegrasikan untuk masuk ke perguruan tinggi.

Kegiatan ini diselenggarakan sore hari sebanyak tiga kali dalam seminggu. Siswa yang dilibatkan mulai dari kelas X dan XII. Lama kegiatan setiap harinya selama 4 jam pelajaran, atau mulai pukul  pukul 15.00-16.00 wita. “Inilah yang terus kita lakukan inovasi, create agar dapat nilai tertinggi, sehingga kepercayaan pemerintah dan masyarakat makin meningkat,” papar Rika.

Adanya beban tambahan kegiatan mengajar, Rika mengatakan guru-gurunya diberikan insentif. Meski demikian, pihaknya tetap menanamkan nilai-nilai pengabdian, karena kebanggaan seorang guru adalah ketika melihat kesuksesan anak didiknya. “Kita beri pengertian bahwa kebanggan guru bukanlah pada uang, tapi pengabdian untuk kesuksesan siswanya,” kata pria berpenampilan sederhana ini.

Rika juga tak menampik kesuksesan dalam pengelolaan sekolahnya tidak lepas dari kerja sama dan partisipasi dengan orang tua maupun lembaga lainnya. Setelah mampu menunjukkan bukti program terobosannya menjuarai berbagai olimpiade, kepercayaan orang tua makin menguat. Itu sebabnya, kalangan orang tua melalui rapat komite sekolah tak keberatan merogoh uang Rp550 ribu per bulannya untuk anaknya. Ada juga anak-anak dari kalangan miskin tapi berprestasi juga diterima dengan menerapkan subsidi silang. “Kita tetap terbuka bagi siswa miskin yang berprestasi dengan menerapkan subsidi silang,” kata Rika.

Dalam hitung-hitungannya, biaya tiap anak mencapai rata-rata Rp6 juta per tahun. Sekilas terkesan mahal, tapi Rika menilai termasuk murah mengingat program-programnya sangat padat bahkan termasuk ada jalinan kerja sama dengan sekolah-sekolah terkenal di sejumlah negara, seperti India, Korea, Jerman, Singapura, dan dua sekolah di Australia. Program ini dikenal dengan nama ‘Student nad Teacher Exchange Program’ yang dilakukan tiap tahun.

“Saat ini yang masih aktif rutin ada tiga negara yaitu India, Korea, dan Australia, sedangkan Jerman dan Singapura sifatnya tentatif,” ujar Rika. Dalam setiap tahun, ke masing-masing negara dikirim 20 orang, kecuali ke Australia 40 orang karena ada dua sekolah. Selama di negara tersebut, rombongan diberikan layanan akomodasi gratis, kecuali tiket. Sebaliknya pada semester berbeda, pihak SMAN 4 yang jadi  tuan rumah menerima rombongan dari ketiga negara tersebut dan menanggung biaya akomodasinya.

“Program ini sudah berlangsung sejak delapan tahun,” ujar Rika. Kini sekolah yang sempat berlabel RSBI ini semakin diburu lulusan SMP. Padahal pada awal-awal dia memimpin, sekolah ini cenderung dijadikan pilihan terakhir, bahkan SMPN 7 yang tetangganya juga tak tertarik ke sini.

“Betul, dulu peringkatnya kisaran nomor 4 sampai 5 di antara SMA di Denpasar, tapi sekarang malah diburu lulusan dari SMP favorit,” papar Rika sembari tersenyum.

Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sekolah, Rika menyebutkan antara lain sumber daya manusia yang belum terpenuhi, seperti masih menggunakan guru honorer hingga 16 orang dari 70 guru keseluruhan, begitu juga tenaga administrasinya hanya 5 orang PNS. Belum lagi kondisi gedungnya yang lantai bagian terasnya  dari sepuluh kelas belum dikeramik sehingga terkesan kotor. Sementara dana BOS sendiri  dikeluhkan karena datangnya tidak tepat waktu, padahal operasional sekolah begitu siswa sudah mulai sekolah, ya langsung perlu dana saat itu juga. Dia berharap teknis pencairan dana BOS bisa tepat waktu sehingga tidak mengganggu kegiatan sekolah.

Meski demikian, Rika tetap berusaha mengfungsikan dan mengoptimalkan perangkat yang ada. Karena sesuai mottonya, “We are simple people”, dia senantiasa berusaha menyederhakan masalah-masalah yang seberat, sekompleks dan serumit apapun.

Berkat kepiawaiannya dalam memimpin, Rika yang pernah meraih penghargaan Wijaya Kusuma dari Gubernur Bali sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Sekolah Terbaik tingkat provinsi Bali ini mampu mengantarkan SMAN 4 Denpasar sebagai peringkat III dari 15 SMA terbaik di Indonesia versi Kemendikbud pada 2010.

Tidak itu saja, berbagai lomba tingkat internasional pun disabetnya, antara lain tampil sebagai “The Best Speaker English Debate Competition” di Turki  mewakili Indonesia pada 2012. (ers)

One Comment on "Dr. I Wayan Rika, Pencetak Siswa Pintar"

  1. Adi November 25, 2014 at 2:14 am · Reply

    Ralat…
    Temen saya Nomy..perempuan,,27thn anak pertama dari Pak Rika,,jadi anaknya dia bukan 2 putra…

Leave a Comment