Category Archives: Khas

Museum Kain di Bali Hadirkan “Ganefo” Soekarno

Batik motif  "Ganefo" (kiri) menghiasi koleksi Museum Kain di Kuta Bali. (Foto: inilahbali.com)

Batik motif “Ganefo” (kiri) menghiasi koleksi Museum Kain di Kuta Bali. (Foto: inilahbali.com)

inilahbali.com, KUTA – Satu lagi daya tarik wisata hadir menghiasi Bali, tepatnya di areal Beachwalk Kuta. Daya tarik wisata nirlaba ini boleh jadi satu-satunya yang menembus komplek mal di ‘kampung’ turis ini.

Itulah “Museum Kain”. Begitu memasuki ruang ini dari pintu depan, akan sangat terasa kesan eksotik, klasik, kreatif dan sekaligus modern dalam suasana temaram. Lokasinya, tepatnya berada di lantai tiga paviliun Alang-alang Beachwalk.

Sejumlah tampilan unik pun akan menyambut pengunjung. Mulai dari bentangan kain batik putih berbahan sutra layaknya layar. Dengan didukung proyektor, kain bagian atas itu pun tampak memunculkan warna-warni mirip pelangi yang bergerak pelan layaknya bergelombang dari kanan ke kiri.

Pada saat yang bersamaan, pengunjung pun akan segera mendengar suara samar-samar yang keluar dari lubang-lubang kecil pada tabung besi berukuran diameter sekitar 10 cm posisi tegak hampir 2 meter tingginya. Saat telinga didekatkan ke lubang-lubang yang bercahaya merah itu, suara pun makin nyaring terdengar.

“Ini sound tube, yang memperdengarkan suara analognya Ibu Obin (Josephine “Obin” Komara, pemilik Museum Kain) tentang seputar kain,” ujar Juliana Taufik, Manajer Museum Kain ketika inilahbali.com mengunjungi museum ini, Sabtu (4/1).

Tak jauh dari posisi itu, di bagian kiri, pengunjung sudah disuguhi puluhan aneka foto yang terpampang di dinding. Secara eksplisit sangat jelas subjek-subjek di dalam foto-foto menonjolkan penggunaan kain dalam kehidupan manusia. Pesan yang ingin disampaikan pun jelasbahwa bahwa betapa pentingnya fungsi dan peran kain dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia dari masa ke masa.

Kesan modern dan berteknologi tinggi pada museum ini tampak ketika pengunjung berada di depan pajangan kain-kain langka koleksi BINhouse. Sebab dengan perangkat layar sentuh yang dipasang di depan kain, pengunjung dengan enteng bisa mengetahui identitas kain yang ingin diketahui. Mulai dari nama kain, asal usul, bahannya, tahun pembuatan, asal daerahnya, ukurannya, dan sebagainya.

“Secara garis besar koleksinya memang dikelompokkan,” jelas Juliana. Memang meski sudah dilengkapi data yang bisa diakses lewat layah sentuh, namun dari pihak pengelola museum tetap menyediakan pemandu.

Menurut Juliana, pengelompokan terbagi atas empat bagian berdasarkan asalnya. Yakni kelompok pesisir Utara Jawa seperti Tuban (Jawa Timur), Juana, Rembang dan Kudus. Ada juga kelompok sakral yakni yang berasal dari Cirebon, Surakarta dan Jogjakarta. Kelompok lainnya dari Jawa Barat dan Madura, serta kelompok masterpiece dari BINhouse milik Obin.

Salah satu kain batik antik asal Tuban Jawa Timur adalah kain dengan motif semen yang dibingkai lidah api atau cemukiran. Kain berwarna alami indigo yang berasal dari tahun 1900 ini menyimbolkan kesuburan. Di luar empat kelompok itu masih juga ada sejumlah kain batik yang diciptakan berkaitan dengan momen-momen penting tertentu.

Sebut saja ada batik motif Thomas Cup, yang dibuat tahun 1950 di Solo saat Indonesia pertama kalinya berhasil merebut piala Thomas. Dalam motif itu tercetak penuh dengan gambar bola bulu tangkis dan raket.

Contoh lain yang tak kalah menariknya adalah kain batik ‘Ganefo’ yang dibuat tahun 1960 an. Produk ini merupakan salah satu megaproyek presiden pertama RI, Soekarno saat itu. Motif batik yang mengacu pada even Games of the New Emerging Forces (Ganefo) ini menampilkan komposisi warna-warni pelangi yang disebut ‘jelamprang’.
Kekhasan dari batik ini yakni memiliki bentuk variasi tumpal (komposisi segitiga) di tengah berbingkai motif border.

“Jadi kain ini mengacu pada even Ganefo, yang saat itu memang diminta beliau (Soekarno) kepada artisan untuk membuat batik dengan motif tersebut,” jelas Juliana. Selain Ganefo, motif lain yang juga atas permintaan Soekarno kepada artisan adalah batik motif Badminton yang saat itu merupakan pertama kalinya bagi Indonesia meraih piala Thomas Cup.

Selain itu ada juga koleksi kain batik ‘Hokokai’ dengan layout pagi-sore oleh Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, sebuah asosiasi yang dibentuk pada pemerintahan Jepang (1942-1945). Bahkan oleh Oey Siok Kiem juga membuat untuk pasar Jepang pada Perang Dunia II. Motif gambar pada batik ini dikenal paling ramai (baroque).

Ada kupu-kupu, bunga sakura dan bungan sebanyak 7 warna dan isen yang paling detail penuhi areal permukaan pada kain. Batik jenis ini dibuat di Pekalongan Jawa Tengah pada 1950 dengan metode canting berbahan katun.

 

Suasana Museum Kain dengan berbagai koleksinya. (Foto: Ist)

Suasana Museum Kain dengan berbagai koleksinya. (Foto: Ist)

Kisah Cinta Ratu

Kain-kain koleksi yang masuk ke dalam kelompok sakral umumnya yang berkaitan dengan penggunaan pada momen-momen penting tertentu dan oleh keluarga keraton. Di balik terciptanya salah satu kain batik sakral ini ada kisah menarik tentang seorang Ratu.

Dalam cerita itu dikisahkan Kanjeng Ratu Beruk yang merupakan permaisuri dari Sri Sultan Susuhunan Paku Buwono III(1732-1788) dilanda kesedihan lantraan dirinya tidak dicintai lagi oleh sang raja. Dalam kesedihannya itu, sang Ratu pun menghabiskan waktunya untuk membatik, hingga terciptalah motif ‘truntum’.

Keberhasilan sang Ratu menciptakan motif ‘truntum’ yang berarti tumbuh dan bersatu inilah akhirnya membuat cinta mereka bersemi dan bersatu kembali. Batik koleksi di museum ini dibuat pada 1960an oleh Kanjeng Raden Tumenggung Hardjonegoro sebagai eksprerimen berdasarkan kisah sedih dari kanjeng Ratu Beruk tersebut.

Menurut Juliana Taufik, museumnya saat ini memajang 61 kain dari total 600 jenis kain langka yang dikoleksi. Kain ini dihimpun lembar demilembar sejak 1970 oleh Obin Komara bersama suaminya Roni Iswandi (sudah meninggal awal tahun ini). Kain-kain langka ini diperoleh dari 16 daerah di Indonesia yang sebagian besar berupa batik, dan sisanya ada jenis ikat, songket dan lainnya.

“Ibu Obin sangat cinta dengan kain-kain Nusantara. Saking cintanya, museum ini pun didirikan benar-benar karena idealisme dan murni non profit,” ujar Juliana mengutip obsesi Obin.

Awal ide membangun museum kain ini, lanjut Juliana, adalah dari suaminya ketika masih hidup karena melihat kecintaan istrinya pada kain dan budaya Indonesia. Untuk itulah Roni ingin mempersembahkan museum untuk Obin karena Roni tahu Obin sangat mencintai kain dan kebudayaan Indonesia.

“Jadi tujuan didirikan museum ini sangat sederhana yaitu untuk menggugah dan menginspirasi masyarakat luas untuk mencintai kain dan budaya bangsa Indonesia,” ujar Juliana mengutip ucapan Obin. Sebab pada intinya Obin ingin membagi rasa cinta terhadap kain ke semua orang.

Sejak dibuka operasionalnya pada 20 November, pengunjung pun mulai berdatangan ke museum ini. Rata-rata jumlah kunjungan 10 hingga 15 orang per hari. “Kalau dilihat pengunjungnya, sebagian besar kalangan domestik, ya sekitar 60 persen,” kata Juliana.

Mengingat jumlah koleksinya yang mencapai 600 lembar kain, sementara yang bisa ditampilkan terbatas, maka direncanakan akan digilir dalam rentang empat hingga enam bulan sehingga semuanya bisa diketahui pengunjung. (ana)

Sisi Lain Bisnis Properti di Bali

Lahan persawahan yang kian terdesak oleh pembangunan properti. (foto: inilahbali.com)

Lahan persawahan yang kian terdesak oleh pembangunan properti. (foto: inilahbali.com)

inilahbali.com, DENPASAR –  Bisnis properti di Bali saat ini semakin menggiurkan bahkan mungkin hingga beberapa tahun ke depan masih akan tetap sangat prospektif. Apakah itu dalam bentuk investasi lahan, bangunan (vila, ruko, ataupun rumah kos-kosan) dan lainnya.

Mengapa prospektif? Salah satu faktornya adalah peminat bisnis sektor properti di Pulau Dewata ini tidak hanya ‘dimainkan’ dari kalangan warga lokal Bali semata, namun adanya kecenderungan makin derasnya investor-investor luar Bali bahkan dari mancanegara. Baik itu dari kalangan korporat maupun pribadi-pribadi.

Salah satu contoh investor dari kalangan pribadi terutama dari luar negeri, adalah dalam bentuk kerja sama atau sewa pembangunan vila dengan warga lokal yang notabene memiliki lahan. Dalam kerja sama ini, investor menyewa lahan untuk jangka waktu tertentu.

Bentuk kerja sama seperti ini rata-rata berjalan mulus dan yang jelas kedua belah pihak sama-sama menangguk keuntungan yang tak sedikit. Si investor ini umumnya punya kiat jitu tentang bagaimana membisniskan properti yang dibangun di atas lahan mitra kerjanya itu.

Keuntungan besar yang diraup ini karena mereka ini tidak bayar pajak, manajemennya dia atur sendiri. Biasanya pasar pertama yang disasar dalam memasarkan produknya itu mulai lingkungan teman-teman di negara asalnya, lingkungan kerjanya, kerabatnya, bahkan tidak tertutup kemungkinan mempromosikan lewat media online. Kiat yang diterapkan saat menangani ‘tamu’nya, dia akan selalu mengatakan bahwa yang menginap itu adalah ‘keluarganya’ atau ‘temannya’, padahal sejatinya adalah tamu yang berbayar.

Eksistensi vila-vila seperti inilah yang dikatagorikan sebagai ‘vila bodong’ karena secara prinsip tidak memiliki izin. Dalam praktiknya dia bisnis jasa akomodasi, namun tidak dilengkapi persyaratan sebagaimana fasilitas akomodasi umumnya. Misalnya tidak adanya tenaga pengamanan seperti satpam, dan beberapa vila seperti ini baru ketahuan setelah ada kasus, katakanlah ada perampokan yang menimpa tamunya yang menginap.

Hamparan sawah yang eksotis di jalur hijau, mampukah akan terus bertahan? (foto: inilahbali.com)

Hamparan sawah yang eksotis di jalur hijau, mampukah akan terus bertahan? (foto: inilahbali.com)

Mendata dan sekaligus tujuannya yang tujuannya untuk memunguti pajak properti seperti ini bukanlah perkara mudah. Selain tak berizin juga sering diklaim sebagai rumah tinggal,jadi seolah-olah yang memiliki itu adalah pemilik lahan, padahal yang membangun itu orang lain yang sekaligus dia pasarkan untuk disewakan. Gubernur Mangku Pastika juga mengakui menangani hal ini terutama agar mendapatkan pajaknya agak sulit.

Bahkan Gubernur Pastika pada acara ‘simakrama’ di wantilan Gedung DPRD Bali, akhir November 2013 mendorong kalau ada stafnya yang ingin melanjutkan kuliah untuk mendalami terkait manajemen tersebut akan diberikan beasiswa.

Indikasi makin bertambahnya vila-vila seperti ini (baca: bodong) yakni berdampak pada kecenderungan menurunnya tingkat hunian kamar di kalangan hotel-hotel. Padahal disisi lain jumlah wisatawan yang datang ke Bali terus meningkat dari tahun ke tahun. Memang benar, di satu sisi ada tambahan kamar hotel yang resmi, namun tidak ada kesesuaian perbandingan antara pertambahan jumlah wisatawan ke Bali dengan tingkat hunian kamar. Artinya pertambahan jumlah kamar yang resmi lebih sedikit dibandingkan peningkatan kunjungan wisatawan.

Jadi ini pun semacam indikasi yang kuat bahwa wisatawan yang jumlahnya meningkat itu ada yang terserap di vila-vila bodong, sehingga hotel-hotel tertentu merasa okupansi hotelnya menurun karena sebagaian pasarnya tersedot oleh vila bodong yang harus diakui tarifnya lebih murah yang disebabkan tiadanya membayar pajak.

Mungkin praktik-praktik semacam ini bukan tidak mungkin nantinya bisa makin ‘menular’ ke orang-orang lokal selain dari macanegara. Yang jelas, kuncinya punya akses jaringan pemasaran yang potensial. Sebab ada semacam ungkapan di kalangan tertentu bahwa ingin berinvestasi properti di Bali.

Gambaran tinginya antusiasme orang berinvestasi di Bali, sampai-sampai Gubernur Bali Mangku Pastika membahasakan seperti ini: “Pokoknya investasi, mau untung atau tidak yang penting investasi”.

Kondisi seperti itulah yang belakangan ini membuat harga lahan tanah di Bali cepat melesat. Yang bermodal besar mengincar lokasi-lokasi strategis, sementara yang bermodal menengah juga menyasar ke areal pinggiran kota bahkan hingga ke pelosok desa yang dinilai prospektif.

Bagi sebagian orang pebisnis properti dengan modal besar, dia tidak sampai membaliknamakan saat transaksi, tapi ditahan sementara di notaris sambil dia tawarkan kembali. Dengan begitu, keuntungan bisa diraih jauh lebih besar karena ketika akan melepas kembali tidak perlu bayar bea balik nama. Lantas, apakah Anda juga ingin bisnis properti di Bali? (ana)

Sisi Lain Bocah Bali: Berjuang Jualan Keliling

Sisi Lain Bocah Baliinilahbali.com, Denpasar: “Saya tak sekolah karena tak bisa membayar uang awal Rp300 ribu. Saya suka sekolah, tapi sekarang saya harus berjualan agar dapat uang.”

Kalimat itu memang tak asli diucapkan bocah yang mengaku bernama Made Widiada,12, melainkan dalam bahasa Bali, ketika inilahbali.com mengajak ngobrol di salah satu stage Art Centre Taman Budaya Denpasar, Kamis (10/10) siang.

Anak asal Desa Songan (B) Kintamami Kabupaten Bangli ini terlihat tegar meski badannya agak kurus. Dia begitu kuat mengusung dagangannya yang ditaruh dalam nampan ukuran cukup besar. Berat dagangannya sekitar 25-30 kg.

Yang dijual aneka makanan tradisional seperti ketela rebus, jagung rebus, pisang rebus, semangka iris, melon, papaya, cendol, dan penganan tradisional lainnya. Rata-rata dikemas dalam plastik dengan harga berkisar Rp1.000.

“Kalau laku semua, saya dapat Rp30 ribu, tapi kalau tak habis cuma dapat Rp20 ribu sehari,” cerita Made Widiada yang mengaku lulus SD beberapa bulan lalu.

Semua barang dagangannya, kata Made, disiapkan dari seseorang yang dia sebut ‘bos’ sekaligus menampungnya di rumahnya di kawasan Jalan Noja Denpasar. Seusianya, selain Made masih ada dua temannya lagi yang diajak tinggal satu kamar di rumah ‘bos’ nya itu, dan semuanya dari Kintamani.

Dari upah harian yang dia peroleh, dia gunakan untuk biaya hidup di luar biaya sewa rumah karena sudah ditanggung bos-nya. Kadang, dia bisa menabung, kadang diakuinya habis dipakai belanja. “Saya nabung pakai celengan,” akunya polos.

Saat ditanya, pilih mana, lebih suka jualan atau sekolah? Made sesaat terdiam, lalu berujar pelan tapi pasti, “Sekolah, saya senang sekolah.” Pandangannya sempat menerawang dan sempat terlihat sedih.

Dia pun mengaku tak bisa sekolah di SMP lantaran tak mampu membayar Rp300 ribu pada awal tahun. “Waktu itu harus bayar Rp300 ribu, tapi saya tak punya uang,” ujarnya lirih.
Lantaran di kampungnya tidak juga ada yang dikerjakan, dia pun akhirnya ikut ketika ada tawaran untuk diajak jualan di Denpasar.

“Jadi saya baru sekitar sebulan berjualan ini,” aku anak ke-6 dari 12 (tapi 2 meninggal) saudara ini. Kedua orang tua Made menggarap tegalan di kampungnya di Desa Songan (B) di Kintamani.

Saat inilahbali.com mencoba mengambil gambarnya, tiba-tiba seseorang berteriak sembari mendekat. “Nah, yang mode-model seperti ini memang perlu dikorankan,” ujar orang itu ketika sudah berdiri di hadapan Made.

Pria paruh baya ini pun membeli beberapa bungkus dagangannya, dan bahkan dengan ikhlas memberi uang tambahan. “Kasihan anak sekecil ini sudah harus berjuang mencari uang,” celetuk lelaki berbadan gempal ini. (ana)

Gubernur Pastika Berbagi Tips “3N” Kepemimpinan

Gubernur Tes Jurusinilahbali.com, Buleleng: Tidak ada istilah libur untuk Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Di sela-sela rutinitasnya sebagai orang nomor satu di jajaran Pemprov Bali, pada hari Minggu pun Pastika turun ke lapangan. Seperti pada Minggu (22/9), mantan Kapolda Bali ini kembali meninjau SMAN Bali Mandara di kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Kunjungannya ke sekolah berstandar internasional itu tercatat sudah yang ke-9 kalinya.

Dalam kesempatan tatap muka dengan para siswa, gubernur asal Desa Sangalangit Buleleng ini berbagi tips untuk menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin, kata Pastika, harus punya “3N” yaitu Nurani, Nalar dan Nyali. Dengan nurani, seorang pemimpin akan memiliki rasa empati dan kasih sayang kepada setiap orang.

“Selanjutnya, pemimpin juga harus punya nalar yang baik sehingga dapat memecahkan setiap persoalan yang dihadapi,” tambahnya. Selain itu, nyali juga tak kalah pentingnya bagi seorang pemimpin. “Seorang pemimpin harus berani dan punya nyali, jika takut maka akan sulit mengambil sebuah keputusan,” tegasnya.

Agar punya nyali, lanjut mantan Ketua Tim Investigasi Bom Bali I ini, seseorang yang akan menjadi pemimpin harus membekali diri dengan ilmu bela diri yang cukup. Namun dia mengingatkan agar bekal bela diri tidak digunakan untuk menyerang orang. “Dengan kemampuan bela diri, kalian akan berani berhadapan dengan siapapun,” ujarnya kepada para siswa SMAN Bali Mandara.

Untuk itu, gubernur berharap agar pihak sekolah mengintensifkan ekstra kulikuler bela diri di lembaga pendidikan pencetak calon pemimpin masa depan tersebut. Karena selain cerdas, seorang calon pemimpin harus punya fisik yang tangguh. Harapan gubernur yang mantan Kapolda Bali ini pun terjawab, karena ternyata para siswa Bali Mandara mampu menunjukkan keliahaiannya dalam memperagakan seni bela diri kempo, karate dan pencak silat. Bahkan, gubernur sempat adu jurus silat dengan seorang siswa.

Menitikkan Air Mata

Selain berbagi tips kepemimpinan, Pastika juga mengutarakan rasa harunya setiap berkunjung ke SMAN Bali Mandara. “Saya selalu menitikkan air mata setiap datang ke sini,” ujarnya. Semangat para siswa dan kemajuan yang dicapai membuatnya bangga dengan sekolah tersebut.
“Hal ini menguatkan keyakinan saya bahwa sistem pendidikan ini tepat dan sangat dibutuhkan Bali,” tandasnya. Dengan adanya sekolah ini, anak berprestasi dari keluarga kurang mampu mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan berkualitas tanpa harus dibebani biaya.
“Kalian patut bersyukur karena tak semua anak dapat kesempatan seperti ini,” imbuhnya. Untuk itu, para siswa diminta untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya selama mengikuti pendidikan di SMAN Bali Mandara. (ana)

“Taman Nusa”, Destinasi Wisata Baru di Gianyar

Taman Nusainilahbali.com, Gianyar: Satu lagi destinasi wisata berbasis budaya Indonesia hadir di Gianyar Bali, tepatnya di Banjar Blahpane Kelod Desa Sidan. Visi yang diusungnya adalah terwujudnya Taman Nusa sebagai pusat pelestarian dan riset beragam budaya Indonesia.

“Misi Taman Nusa selain melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa Indonesia juga memperkenalkan budaya Indonesia secara menyeluruh kepada anak negeri dan bangsa lain,” ujar Direktur Taman Nusa, Borkat Timbulan Lubis,  di sela acara pre-soft operation di Taman Nusa, Sabtu (6/7).

Borkat menjelaskan, di Taman Nusa yang luasnya 15 hektare ini ada 8  kawasan, yakni ada kawasan masa Pra-Sejarah, Masa Perunggu, Masa Kerajaan, Kampung Budaya, Indonesia Awal, Indonesia Merdeka, Indonesia Masa Kini, dan Indonesia Masa Depan.

Di masing-masing kawasan ada sejumlah tampilan seperti di pra-sejarah terdapat goa, batu-batuan, dan batu megalitik. Di Masa Perunggu bisa dijumpai peralatan pertanian dan kehidupan manusia. Sementara di kawasan Masa Kerajaan akan dijumpai candi Borobudur dengan ukuran 400 M2 terdiri dari 3 lantai.

Sedangkan memasuki  kawasan Kampung Budaya, terdapat sekitar 40 rumah tradisional dari berbagai suku/etnis yang menonjol, seperti rumah tradisional Toraja Sulawesi Selatan, rumah tradisional Minangkabau, Mandailing, Maluku Utara, Betawi, Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Minahasa,  Nusa Tenggara Barat termasuk Bali dan lainnya.

“Rumah-rumah tradisional ini hampir semuanya diboyong dari daerah asalnya. Nantinya tiap rumah itu ada penghuninya yang juga asli dari daerah tersebut menetap di Taman Nusa yang sekaligus statusnya sebagai karyawan,” jelas Borkat. Setelah beroperasi, di masing-masing rumah tradisional itu juga akan ada pementasan atraksi kesenian mereka yang dibawakan asli dari masyarakat bersangkutan.

Yang menarik untuk kawasan Indonesia Masa Depan dilengkapi sejumlah museum dan perpustakaan. Misalnya ada museum Kain, museum wayang, museum etnografi Indonesia, serta perpustakaan desain gedung menyerupai sapu lidi yang kini dalam proses pembangunan.

“Jadi Taman Wisata ini antara lain menampilkan panorama perjalanan waktu bangsa Indonesia dari masa ke masa,” ujar Borkat.

Fasilitas pendukung lain di destinasi baru ini  adalah adanya auditorium berkapasitas 250 kursi, restoran Dapur Nusa, cafetaria dan rest area lainnya. Dari tempat ini pengunjung juga bisa menyaksikan keagungan Gunung Agung, persawahan, jurang, hutan, serta sungai di sepanjang areal wisata ini. (ers)

Dr. I Wayan Rika, Pencetak Siswa Pintar

Wayan Rikainilahbali.com, Denpasar : Bagi praktisi ataupun pengamat pendidikan di Bali bahkan nasional khususnya untuk tingkat sekolah menengah, nama I Wayan Rika tentunya tak asing lagi. Nama sosok yang satu ini, setidaknya makin melesat awal Juni 2013 saat pengumuman hasil UN SMA/SMK. Betapa tidak, melalui  tangan ‘dinginnya’, peraih gelar doktor di Universitas Negeri Malang Jawa Timur pada 2011 ini mampu mengantarkan 5 siswa-siswinya masuk dalam 10 besar peraih nilai UN tertinggi tingkat nasional. Dialah I Wayan Rika, 54, Kepala SMA Negeri 4 Denpasar, Bali.

Rika yang berpenampilan rendah hati ini boleh jadi  menjadi satu-satunya kepala sekolah (setingkat SMA) yang memegang jabatan terlama, yakni tahun ini sudah menginjak 15 tahun sejak 1998.  Dalam perjalanan kariernya, Rika tidaklah selalu mulus. Bahkan ketika tahun pertama memegang tampuk kendali sekolah yang ‘bermarkas’ di areal perumahan nasional Munang Maning Denpasar, Rika malah menuai demo dan dihujat habis-habisan oleh ratusan orang tua dan wali siswa yang menentang kebijakannya yang dinilai ‘nyleneh’, yaitu menaikkan uang SPP hingga berlipat ganda.

“Saya masih ingat di awal kebijakan saya, massa melancarkan demo besar-besaran dan menghujat,” ujar Rika mengenang kejadian di awal tahun 2000, dalam perbincangan ringan di ruang kerjanya, pertengahan Juni 2013.Pemicunya gara-gara menaikkan besaran nominal SPP yang semula Rp12 ribu melonjak menjadi Rp40 ribu. Dengan kata lain, dari sekolah yang awalnya dikenal paling murah SPP-nya, mendadak menjadi paling mahal.

Menghadapi gelombang penolakan itu, Rika tak menyerah, malah suami dari Ni Made Rai Sukerti ini tetap kukuh pada obsesinya untuk menjadikan sekolahnya maju yang penuh dengan prestasi. Saat itu salah satu program yang dia canangkan adalah persiapan mengikuti berbagai olimpiade yang tentunya memerlukan biaya cukup tinggi. Dia bertekad  menjadikan sekolah ini memiliki nilai lebih dan berkelas, ibarat tempat makan ya menjadi restoran yang bergengsi.Alhasil, orang tua siswa pun meski terpaksa akhirnya menerima setelah Rika berjanji siap mundur kalau gagal dengan program yang dia canangkan. Tapi penerimaan orang tua saat itu setengah hati terbukti sebagian dari mereka tidak rela bayar SPP. “Bayangkan, sudah tidak mau bayar SPP, mereka  menghujat lagi,” ujar ayah dua putra ini  sambil tersenyum.

Masa pembuktian pun Rika lakukan dengan serius dan kerja keras. Dan pelan  namun pasti, Ketua Pemuda Banjar Semer Kerobokan Kabupaten Badung Bali ini  mencoba membangun ‘iklim’ kultur  kebersamaan di sekolahnya. Dalam kultur yang dia ciptakan itu, Rika mengajak semua guru agar selalu siaga di sekolah sepanjang jam pelajaran sekolah, termasuk dalam kondisi tidak ada jam mengajar.

“Tidak ada guru yang baru datang ke sekolah ketika mau mengajar saja, atau pulang mendahului saat sudah tidak ada jam pelajaran. Semua guru harus tetap bersama-sama di sekolah, ada atau tidak ada jam pelajaran,” ujar Rika.

Merintis kultur seperti ini, diakui Rika tidaklah mudah. Namun pihaknya senantiasa secara terus-menerus menyosialisasikan kepada guru-guru dan pegawainya, mulai dari hal-hal kecil yang menyenangkan seperti makan bersama-sama apapun jenis makannannya. Secara perlahan akhirnya sampai sekarang kultur kebersamaan itu terbentuk sedemikian rupa di sekolah ini. Dalam keseharian, suasana sekolah cenderung ramai hingga sore, apalagi ditunjang sarana seperti kantin yang juga bisa dipakai diskusi siswa atau tempat mengerjakan tugas.

Dalam pengelolaan lembaga pendidikan, menurut Rika, tetap diperlukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Guru sebagai pengelola sekolah haruslah jeli membaca situasi sesuai perkembangan zaman yang dikaitkan dengan sistem yang diterapkan pemerintah. Dalam hal ini, kata Rika, yg perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Ada banyak faktornya, antara lain terjalinnya kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti orang tua siswa, masyarakat dan lembaga-lembaga lain.

Untuk pencapaian mutu itulah, Rika membuat program peningkatan mutu (quality improvement programme) guna meningkatkan daya saing sekolah melalui siswa baik bidang akademis maupun non akademis di berbagai tingkatan mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan internasional.

Berangkat dari pijakan ini, lantas dibuatlah klasifikasi siswa berdasarkan bakat dan minat baik akademis maupun non akademis. Untuk mengintensifkan proses pada siswa, Rika merancang kelompok-kelompok yang dia sebut klub sesuai klasifikasi bakat dan minat. Maka lahirlah bermacam klub, seperti klub matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris, astronomi, kebumian, komputer, dan bahasa asing (jepang). Untuk memaksimalkan prestasi, pihak sekolah bahkan membijaksanai guru-gurunya bila perlu untuk mengundang konsultan seperti dari kalangan dosen.  Prestasi ini diarahkan untuk merebut even-even olimpiade. Khusus klub-klub ini, guru sekolah
kadang-kadang

“Setelah diuji coba setahun hasilnya cukup bagus, siswa jadi juara baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan internasional. Ini harus terus berlanjut disertai inovasi-inovasi karena teman-teman sekolah lain juga mengejar target lebih tinggi,” ujar Rika yang juga guru bidang Biologi ini.

Selain membentuk model klub, Rika juga menerapkan sistem pengayaan dan remidi yang tujuannya sebagai persiapan bagi siswa dalam menghadapi UN. Program ini dinilai penting mengingat nilai UN mulai tahun ini diintegrasikan untuk masuk ke perguruan tinggi.

Kegiatan ini diselenggarakan sore hari sebanyak tiga kali dalam seminggu. Siswa yang dilibatkan mulai dari kelas X dan XII. Lama kegiatan setiap harinya selama 4 jam pelajaran, atau mulai pukul  pukul 15.00-16.00 wita. “Inilah yang terus kita lakukan inovasi, create agar dapat nilai tertinggi, sehingga kepercayaan pemerintah dan masyarakat makin meningkat,” papar Rika.

Adanya beban tambahan kegiatan mengajar, Rika mengatakan guru-gurunya diberikan insentif. Meski demikian, pihaknya tetap menanamkan nilai-nilai pengabdian, karena kebanggaan seorang guru adalah ketika melihat kesuksesan anak didiknya. “Kita beri pengertian bahwa kebanggan guru bukanlah pada uang, tapi pengabdian untuk kesuksesan siswanya,” kata pria berpenampilan sederhana ini.

Rika juga tak menampik kesuksesan dalam pengelolaan sekolahnya tidak lepas dari kerja sama dan partisipasi dengan orang tua maupun lembaga lainnya. Setelah mampu menunjukkan bukti program terobosannya menjuarai berbagai olimpiade, kepercayaan orang tua makin menguat. Itu sebabnya, kalangan orang tua melalui rapat komite sekolah tak keberatan merogoh uang Rp550 ribu per bulannya untuk anaknya. Ada juga anak-anak dari kalangan miskin tapi berprestasi juga diterima dengan menerapkan subsidi silang. “Kita tetap terbuka bagi siswa miskin yang berprestasi dengan menerapkan subsidi silang,” kata Rika.

Dalam hitung-hitungannya, biaya tiap anak mencapai rata-rata Rp6 juta per tahun. Sekilas terkesan mahal, tapi Rika menilai termasuk murah mengingat program-programnya sangat padat bahkan termasuk ada jalinan kerja sama dengan sekolah-sekolah terkenal di sejumlah negara, seperti India, Korea, Jerman, Singapura, dan dua sekolah di Australia. Program ini dikenal dengan nama ‘Student nad Teacher Exchange Program’ yang dilakukan tiap tahun.

“Saat ini yang masih aktif rutin ada tiga negara yaitu India, Korea, dan Australia, sedangkan Jerman dan Singapura sifatnya tentatif,” ujar Rika. Dalam setiap tahun, ke masing-masing negara dikirim 20 orang, kecuali ke Australia 40 orang karena ada dua sekolah. Selama di negara tersebut, rombongan diberikan layanan akomodasi gratis, kecuali tiket. Sebaliknya pada semester berbeda, pihak SMAN 4 yang jadi  tuan rumah menerima rombongan dari ketiga negara tersebut dan menanggung biaya akomodasinya.

“Program ini sudah berlangsung sejak delapan tahun,” ujar Rika. Kini sekolah yang sempat berlabel RSBI ini semakin diburu lulusan SMP. Padahal pada awal-awal dia memimpin, sekolah ini cenderung dijadikan pilihan terakhir, bahkan SMPN 7 yang tetangganya juga tak tertarik ke sini.

“Betul, dulu peringkatnya kisaran nomor 4 sampai 5 di antara SMA di Denpasar, tapi sekarang malah diburu lulusan dari SMP favorit,” papar Rika sembari tersenyum.

Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sekolah, Rika menyebutkan antara lain sumber daya manusia yang belum terpenuhi, seperti masih menggunakan guru honorer hingga 16 orang dari 70 guru keseluruhan, begitu juga tenaga administrasinya hanya 5 orang PNS. Belum lagi kondisi gedungnya yang lantai bagian terasnya  dari sepuluh kelas belum dikeramik sehingga terkesan kotor. Sementara dana BOS sendiri  dikeluhkan karena datangnya tidak tepat waktu, padahal operasional sekolah begitu siswa sudah mulai sekolah, ya langsung perlu dana saat itu juga. Dia berharap teknis pencairan dana BOS bisa tepat waktu sehingga tidak mengganggu kegiatan sekolah.

Meski demikian, Rika tetap berusaha mengfungsikan dan mengoptimalkan perangkat yang ada. Karena sesuai mottonya, “We are simple people”, dia senantiasa berusaha menyederhakan masalah-masalah yang seberat, sekompleks dan serumit apapun.

Berkat kepiawaiannya dalam memimpin, Rika yang pernah meraih penghargaan Wijaya Kusuma dari Gubernur Bali sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Sekolah Terbaik tingkat provinsi Bali ini mampu mengantarkan SMAN 4 Denpasar sebagai peringkat III dari 15 SMA terbaik di Indonesia versi Kemendikbud pada 2010.

Tidak itu saja, berbagai lomba tingkat internasional pun disabetnya, antara lain tampil sebagai “The Best Speaker English Debate Competition” di Turki  mewakili Indonesia pada 2012. (ers)